Thursday, December 3, 2020

Ketua MPR Ungkap Kompleksitas Penyusunan Pokok-Pokok Haluan Negara | PT Rifan Financindo

 PT Rifan Financindo  -   Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan pihaknya terus mengkaji amandemen terbatas UUD, terutama dalam rangka menghadirkan kembali GBHN (saat ini disebut Pokok-Pokok Haluan Negara). Pengkajian, kata Bamsoet, dilakukan secara teliti karena realisasi wacana ini harus sesuai dengan aspirasi rakyat.

Bamsoet menjelaskan MPR menggunakan berbagai cara untuk mendekati rakyat secara langsung guna menyerap aspirasi. Salah satunya melalui kegiatan silaturahmi kebangsaan dengan mengunjungi berbagai elemen masyarakat antara lain para pimpinan partai politik, tokoh-tokoh masyarakat dan agama seperti NU, Muhammadiyah, PGI, Permabudhi, Matakin sampai menyambangi para akademisi di berbagai perguruan tinggi.

Hal itu disampaikan Bamsoet dalam acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Reposisi Haluan Negara Sebagai Wadah Aspirasi Rakyat' kerjasama MPR dengan Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, di Ruang Rapat Pimpinan MPR, Gedung Nusantara III, Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta.

Dari berbagai dialog dan diskusi yang dilakukan, disimpulkan berbagai elemen masyarakat tersebut pada intinya mendukung adanya rekomendasi tentang perlunya kehadiran PPHN.

"Itu sangat baik menurut saya. Ditambah lagi, akhir-akhir ini saya mendapatkan sinyal baik dari pemerintah, tampaknya gayung akan bersambut terkait isu haluan negara ini, MPR menjadi makin optimis," kata Bamsoet, Kamis (3/12/2020).

Ia menegaskan restorasi haluan negara merupakan agenda nasional yang sangat penting dan mendesak harus segera diwujudkan, untuk memberikan arah bagi rencana pembangunan nasional. Haluan negara, tambah Bamsoet, juga menjadi instrumen dalam mewujudkan cita-cita yang diperjuangkan para pendiri bangsa dan dirumuskan dalam alinea ke-2 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Sebagai penuntun, haluan negara berisi arahan dasar tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai filosofis Pancasila yang bersifat abstrak dan nilai-nilai normatif konstitusi, ke dalam berbagai pranata publik yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan pembangunan secara terpimpin, terencana, terpadu.

Diungkapkan Bamsoet, dari berbagai aspirasi yang diserap MPR, para pakar dan akademisi banyak menyarankan agar haluan negara tetap kompatibel dengan sistem Presidensial. Untuk itu, PPHN dicanangkan untuk diatur langsung dalam konstitusi. Hal itu didasari beberapa pertimbangan, seperti menempatkan PPHN dalam konstitusi dianggap tepat dilihat dari basis sosial bangsa Indonesia. Sebab, sebagai negara kekeluargaan, sudah selayaknya pembangunan nasional tidak dirumuskan sendiri tapi harus dirumuskan dan menjadi konsensus bersama seluruh warga negaranya.

Selain itu, lanjut Ketua DPR RI ke-20 itu, dengan menempatkan PPHN dalam konstitusi maka status hukumnya akan sangat kuat sesuai dengan ajaran supremasi konstitusi yang dianut Indonesia. Lebih lanjut dikatakan, PPHN yang dimuat dalam konstitusi selain bersifat prinsip dan petunjuk, juga berisikan rencana pembangunan jangka panjang nasional 25 tahun, 50 tahun atau bahkan 100 tahun. Dengan demikian, tujuan pembangunan nasional jangka panjang dapat lebih terencana.

Selanjutnya, karena status PPHN dalam konstitusi kuat, maka pelanggaran-pelanggaran terhadap PPHN yang dilakukan oleh presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya harus memiliki dampak dan implikasi yang jelas baik itu implikasi politik, sosial maupun hukum.

"Implikasi sosial dan politik dapat dikeluarkan oleh MPR tapi bersifat moral dan imbauan saja. Sementara itu, untuk implikasi hukum pelanggaran PPHN dapat dilakukan dalam dua bentuk. Yakni, MPR meminta DPR menggunakan hak budgetnya untuk menolak proposal RAPBN. Dengan demikian, Presiden dan lembaga negara lainnya dipaksa untuk membentuk rencana program dan anggaran yang sesuai dengan PPHN," jelas Bamsoet.

"Lalu, melalui mekanisme pengadilan. Mahkamah Konstitusi (MK) sangat mungkin menerima judicial review jika ada kebijakan negara yang tidak sesuai dengan PPHN. Pembahasan implikasi hukum ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak terjadi penolakan-penolakan dan salah tafsir," lanjutnya.

Di sisi lain, ujar Bamsoet, banyak pula pakar yang menyarankan agar bentuk hukum PPHN melalui Ketetapan MPR (TAP MPR). Argumentasinya karena pilihan bentuk hukum TAP MPR adalah alternatif yang lebih rasional, khususnya ketika MPR sulit mengupayakan konsensus politik untuk mengatur agar PPHN masuk dalam konstitusi.

Di samping itu, kehadiran PPHN melalui bentuk hukum TAP MPR dianggap tidak perlu selalu dihadapkan dengan sistem Presidensial, karena PPHN tidak serta merta menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa meminta pertanggungjawaban Presiden dan memberhentikannya karena melanggar PPHN.

Kelebihan lain dari penguatan PPHN melalui TAP adalah apabila ada keperluan untuk melakukan penyesuaian substansi di tengah perjalanan, akan lebih mudah dilakukan. Sebab, prosedur perubahannya lebih mudah dibanding perubahan UUD yang memerlukan prosedur khusus dan sangat ketat.

Bamsoet menambahkan, alasan berikutnya yakni penegakkan hukum PPHN bisa dilakukan melalui permintaan hak budget parlemen dan atau melalui pengadilan di MK. Selain itu PPHN hanya mengatur hal-hal pokok saja yang memuat arahan untuk ditindaklanjuti dalam program pembangunan yang akan disusun oleh presiden dan lembaga negara lainnya sesuai dengan kewenangannya. Intinya, PPHN harus dapat memastikan arah dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, keterbelakangan yang menjadi persoalan besar bangsa Indonesia.



Sumber: news.detik

PT Rifan Financindo

No comments:

Post a Comment

Jumlah Uang Beredar Naik Jadi Rp 8.721,9 T Berkat Penyaluran Kredit Moncer

Bank Indonesia (BI) mencatat uang beredar pada Januari 2024 mengalami pertumbuhan. Uang beredar mengalami pertumbuhan, salah satunya ditopan...